Di setiap akhir musim kemarau, Desa Tapen, Kecamatan Bondowoso, Jawa Timur, orang-orang berkumpul untuk menyaksikan ritual Ojung. Ritual ini dilakukan sebagai permohonan turunnya hujan kepada Tuhan. Seperti apa ritual Ojung ini? Baca terus di sini.
Ritual Ojung yang unik ini tidak hanya dilakukan di Bondowoso saja. Ritual ini juga dilakukan di Pulau Madura dan di Tengger, Gunung Bromo. Yang membedakan antara ritual Ojung di Bondowoso dan Madura dengan yang di Tengger adalah waktu pelaksanaannya. Di Bondowoso dan Madura, Ojung dilakukan untuk mengundang turunnya hujan setelah musim kemarau, sementara di Tengger, Ojung diadakan tiap perayaan hari raya Karo.
Dalam Ojung, dua orang pria berhadapan dengan bertelanjang dada sambil menggenggam erat sebatang rotan. Saat musik dimainkan, kedua pria tersebut bergoyang mengikuti alunan musik. Tidak hanya itu saja, rotan yang dipegang kemudian digunakan untuk saling menyabet lawan. Dari luka yang meneteskan darah, diharapkan akan dapat mengundang turunnya hujan.
Untuk memulai ritual Ojung, diperlukan dua orang pria, satu orang wasit, satu orang pendamping untuk tiap petarung Ojung, dan dua orang yang akan menandai luka akibat sabetan rotan. Di Madura, para petarung Ojung harus mengenakan pelindung muka dan kepala yang terbuat dari sabut kelapa. Tapi di Bondowoso, petarung Ojung hanya mengenakan kopiah dan odheng (ikat kepala) yang diikatkan di pinggang. Meskipun begitu, ada larangan untuk menyabetkan rotan ke bagian muka atau kepala. Daerah target sabetan hanyalah bagian leher, dada, perut, lengan atas, dan punggung.
Tiap pertandingan Ojung terdiri dari tiga ronde. Tiap ronde para petarung harus berusaha mendaratkan sebanyak-banyaknya pukulan rotan ke tubuh lawannya. Tiap luka yang timbul akan segera diberi tanda oleh kedua orang yang bertugas. Setelah tiga ronde berakhir, peserta yang menyabetkan luka paling banyak dinyatakan sebagai pemenang. Ritual Ojung ini juga dianggap sebagai tanda keberanian mental dan kejantanan para pesertanya. Namun, meski bersifat Ojung bersifat keras dan para petarungnya saling melukai, tiap selesai satu pertandingan kedua peserta harus tetap bergoyang dan bersalaman untuk menunjukkan tidak adanya permusuhan atau dendam setelah acara ini selesai.
Ojung biasanya dilaksanakan tiap bulan kedelapan penanggalan Madura, yaitu bulan Rebbe. Di bulan ini masyarakat Madura dan Bondowoso mengadakan slametan desa yang dinamakan Gadhisa. Acara ini dilakukan untuk menjaga desa dari bencana atau hal-hal yang tidak diinginkan. Sehari setelah Gadhisa, para penduduk baru mengadakan ritual Ojung. Jika dulu Ojung hanya boleh diikuti oleh peserta berumur 21-50 tahun, kini banyak peserta berumur 10-20 tahun yang mengikuti Ojung.
Jangan lupa masukkan ini sebagai salah satu agenda tujuan trip kamu.