TripTrus.Com - Pada tanggal 1 Juni 1948 pemerintah Kotapraja membentuk Centrale Stichting Wederopbouw yang disingkat CSW, sebuah yayasan yang bertugas sebagai pelaksana pembangunan kota baru di Onderdistrict Kebajoran Ilir. Bersamaan dengan itu dimulai pembangunan kota baru Kebajoran. Setelah terjadi pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, CSW berganti nama menjadi 'Jajasan Pemugaran Pusat'. Menurut catatan sejarah kota Batavia, CSW tidak lepas dari rencana pengembangan sebuah kota baru di daerah Kebayoran (kini masuk wilayah Jakarta Selatan). Di masa itu kota Batavia sudah begitu padat. Pada tahun 1940 jumlah penduduk kota telah mencapai 700.000 jiwa dan delapan tahun kemudian meningkat jadi 1.174.252 jiwa. Populasi penduduk sebanyak itu tak mungkin ditampung di kota Jakarta tanpa pemekaran.
Salah satu wilayah selatan yang diincar pemerintah Kotapraja untuk pengembangan adalah Onderdistrict Kebajoran Ilir yang jarak tempuhnya 4,5 kilometer dari pusat kota. Luasnya sekitar 730 hektare dan direncanakan dibangun 80.000 unit rumah berikut fasilitas sosial dan jalan raya. Ketika itu juga direncanakan dibangun gedung perkantoran, pasar dan pertokoan, kawasan industri termasuk juga sarana ibadah dan sekolah. Persoalannya: di atas tanah itu berdiri pemukiman penduduk asli Betawi. Statusnya erfpach, hak garap. Sampai tahun 1950 populasi penduduk Kebajoran Ilir berjumlah 4.900 jiwa yang umumnya bertani. Pemerintah Kotapraja tetap ingin mewujudkan membangun kotabaru di Kebajoran Ilir meski mendapat tantangan dari 2.500 warga setempat yang enggan melepas tanah dan meliputi tiga desa di onderdistrict tersebut. Wedana Kebajoran pada awalnya juga menyatakan menolak rencana pemerintah Kotapraja.
Akhirnya melalui perdebatan sengit, proyek tetap dilangsungkan. Gubernur District Federal Djakarta, RSS Hilman Djajadiningrat membentuk 'Komisi Pendjualan' yang meliputi empat orang Indonesia dan empat orang Belanda. Komisi ini tugasnya bernegosiasi dengan warga, walau warga tetap bersikeras tak mau menjual tanahnya. Hal itu membuat Gubernur Hilman mengancam menggunakan onteigeningsrecht, hukum pencabutan hak atas tanah. Tahun 1948 proses pembebasan tanah pun rampung meski masih ada pembayaran ganti rugi yang belum tuntas. CSW hingga kini menjadi sebuah perempatan tidak jauh dari kantor PLN Kebayoran, kantor Sekretariat Asean dan kantor Kejaksaan Agung. (Sumber: Artikel jakarta.go.id Foto beritabuzz.blogspot.co.id)