Gua Cermin terletak di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Obyek wisata ini terletak di sebelah timur pelabuhan Labuan Bajo, berjarak sekitar empat kilometer dari pusat kota. Gua ini memiliki hutan di mana wisatawan bisa melihat kera ekor panjang dan babi hutan. Biasanya agen perjalanan menawarkan paket wisata ke Gua Cermin sebagai bagian dari program tur Kota Labuan Bajo.Gua yang ditemukan oleh seorang arkeolog Belanda tersebut ternyata adalah sebuah gua yang di dalamnya terdapat sebuah batu yang apabila terkena sinar matahari akan berbentuk seperti cermin. Di samping stalagtit dan stalagmit, terdapat berbagai macam satwa seperti kelelawar, laba-laba, ular dan serangga di dalamnya.
Sumber: http://www.indonesiakaya.com
Sillanan adalah nama sebuah perkampungan tradisional masyarakat Toraja. Secara administratif, perkampungan ini masuk ke wilayah Desa Sillanan, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Perkampungan yang struktur tanahnya berbatu-batu ini dihuni oleh penduduk yang bekerja sebagai petani kopi, dan terletak sekitar 35 kilometer ke arah selatan Rantepao. Di tempat ini terdapat bangunan-bangunan megalit berupa menhir maupun kubur batuyang berkaitan dengan tradisi dan upacara-upacara adat masyarakat Toraja yang hingga kini masih diselenggarakan. Dari upacara-upacara adat itu, wisatawan akan mendapatkan gambaran mengenai fungsi dan peranan peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut terhadap kehidupan masyarakat setempat. Beberapa rumah tongkonan dan lumbung padi yang berusia sangat tua pun masih bisa ditemukan di sini, sementara beberapa diantaranya sudah direnovasi akibat termakan usia. Tongkonan merupakan rumah adat masyarakat Toraja. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa Toraja yaitu “tongkon” yang berarti duduk. Disebut tongkon karena memang bangunan ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan kekuasaan adat. Tongkonan bukanlah rumah pribadi perseorangan tetapi diwariskan secara turun temurun oleh keluarga atau marga suku Toraja. Di rumah adat inilah, keluarga Toraja biasanya berkumpul untuk berdiskusi ataupun bertukar pendapat. Tidak semua Tongkonan dapat dikunjungi, kecuali Tongkonan yang memang secara khusus dijadikan obyek wisata. Sementara Tongkonan milik keluarga Tana Toraja hanya boleh dikunjungi oleh anggota keluarga saja. Wisatawan bisa menanyakan tetua adat atau penduduk mengenai Tongkonan mana yang boleh dikunjungi. Tongkonan terbuat dari kayu dan memiliki atap yang terbuat dari daun nipa atau kelapa. Bangunan adat ini selalu dibangun menghadap ke utara, arah yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Jika dilihat dari bagian samping, bentuk atap Tongkonan akan mirip seperti tanduk kerbau. Di kehidupan masyarakat Toraja, kerbau memang dijadikan simbol status sosial. Ketika keluarga Toraja menyelenggarakan upacara adat pemakaman, mereka akan menyembelih kerbau yang jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga penyelenggara adat. Setelah disembelih, tanduk-tanduk kerbau dipasang pada Tongkonan milik mereka. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau pada Tongkonan, berarti semakin tinggi pula status sosial pemiliknya di kalangan masyarakat Toraja. Rumah adat Toraja ini berbentuk rumah panggung, dan kolong rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Di depannya terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung terbuat dari batang pohon palem (‘bangah‘) yang licin, sehingga tikus tidak dapat memanjat masuk ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara. Orang Toraja menganggap tongkonan sebagai simbol ‘ibu‘, sedangkan alang sebagai ‘bapak‘. Tongkonan tidak hanya berfungsi sebagai rumah tinggal, tetapi juga sebagai tempat mengadakan kegiatan sosial, upacara adat, serta membina kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian utara, tengah dan selatan. Bagian utara atau ‘tengalok’ berfungsi sebagai ruang tamu, ruang tidur anak-anak, dan juga tempat meletakkan sesaji. Bagian tengah yang disebut ‘sali‘ berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, tempat menyemayamkan orang mati, dan juga sebagai dapur. Dan bagian selatan disebut ‘sumbung‘, merupakan ruangan untuk kepala keluarga. Rumah adat Toraja memiliki beberapa ornamen ukiran khas Toraja yang terbuat dari tanah liat, biasanya menggunakan empat warna dasar yakni hitam, merah, kuning, serta putih. Bagi suku Toraja, keempat warna itu memiliki makna tersendiri. Warna hitam melambangkan kematian, kuning menjadi simbol anugerah dan kekuasaan Illahi, putih lambang warna daging dan tulang yang berarti suci, sementara merah menjadi simbol warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Sama halnya dengan jumlah tanduk kerbau, jumlah ornamen di dalam Tongkonan juga melambangkan tingkat kemewahan. Desa Sillanan juga menawarkan pemandangan alam yang indah dan agrowisata kopi dan sayur mayur. Sillanan dapat dicapai dengan menggunakan angkutan umum Makale – Mebali. Lalu perjalanan bisa dilanjutkan dengan angkutan Mebali -Sillanan, naik ojek atau berjalan kaki. Di sekitar perkampungan ini, terdapat juga pemondokan untuk wisatawan. Sementara enam kilometer dari Sillanan,ada hotel bintang tiga.
Sumber: http://www.indonesiakaya.com
Danau Linow memiliki luas sekitar 34 hektare, terletak di Kelurahan Lahendong, Tomohon. Danau berpanorama indah ini memiliki ciri khas tersendiri yaitu kadar belerangnya yang tergolong tinggi. Dilihat dari berbagai sudut pandang, dan ditambah dengan pengaruh cahaya, warna airnya akan terlihat berubah-ubah. Pada siang hari, air danau akan memantulkan warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Pantulan sinar matahari menimbulkan kilauan cahaya mirip lukisan pelangi di permukaan danau.Air Danau Linow merupakan air panas yang mengandung sulfur dan magnesium sulfat, yang konon dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Namun, pengunjung harus berhati-hati dengan kubangan lumpur panas mendidih yang berada di tepi danau.Sementara di sekitar danau, hidup satwa endemik berupa burung belibis dan serangga. Oleh penduduk setempat, serangga unik yang hidup di air, bersayap dan bisa terbang ini dinamakan "sayok" atau "komo". Serangga ini juga dikonsumsi penduduk. Burung-burung dari berbagai spesies juga membangun sarang di tepi danau, sehingga kadang-kadang kicauan burung kecil dan besar yang sedang melintasi danau. Aneka ragam tumbuh-tumbuhan juga hidup di sana. Sebuah hamparan rumput hijau di tepi danau menjadi tempat yang cocok untuk duduk-duduk sambil berteduh di bawah pohon. Hembusan angin yang sejuk akan memberikan kenikmatan.Lokasi Danau Lindow memang cukup strategis, bisa dicapai dengan menggunakan angkutan umum atau mikrolet dari terminal bus Kota Tomohon. Perjalanan lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 700 meter menuju Danau Linow.Letak Danau Linow memang cukup strategis sehingga mudah dijangkau dengan kendaraan beroda empat. Atau menggunakan angkutan umum dari terminal Kota Tomohon, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 700 meter.Tiket masuk ke danau ini sebesar Rp 25.000, dan dibuka untuk umum mulai jam 08:00 – 17:00 waktu setempat. Buat pengunjung yang ingin menginap, tersedia bungalo-bungalo yang lokasinya tidak begitu jauh dari danau.
Sumber: http://www.indonesiakaya.com
Cunca Wulang merupakan salah satu obyek wisata air terjun di daerah Manggarai Barat, Flores. Kata “cunca” memang berarti air terjun. Tempat ini berjarak sekitar 30 kilometer ke arah timur Labuan Bajo, yang bisa dicapai dalam waktu sekitar satu jam perjalanan. Lokasi ini memiliki aliran air lembah sungai yang jernih, dan dikelilingi formasi batu-batuan, sehingga membuat air terjun ini menjadi seperti miniatur Grand Canyon yang terdapat di Arizona, Amerika.
Sumber: http://www.indonesiakaya.com
Dari namanya, bisa diterka bahwa danau yang terletak di wilayah kecamatan Teluk Segara, Selebar, Gading Cempaka ( Kota Bengkulu ) dan Kecamatan Talang Empat ( Kabupaten Bengkulu Utara ) ini memiliki kisah tragis di baliknya. Diyakini, danau yang berada di lahan seluas 112,2 hektar ini terkait dengan legenda sepasang muda mudi yang bunuh diri dengan menceburkan diri ke dalam danau karena hubungan cinta mereka yang tidak mendapatkan restu orangtua sang gadis.Berbeda dengan legenda yang banyak dipercaya masyarakat, sebuah cerita lain yang beredar disebutkan bahwa pada masa Belanda, danau ini dibuat dan supaya lebih tertata. Namun sayang setelah merdeka pembangunannya kemudian terbengkalai. Danau ini selain sebagai kawasan wisata juga dipergunakan sebagai kawasan konservasi yang melindungi berbagai keragaman hayati, sumber air untuk irigasi, daerah cadangan air, dan juga sebagai media pembelajaran alam untuk kepentingan ilmiah.Keragaman hayati di danau ini terlihat dari banyaknya flora dan fauna di kawasan danau. Tercatat anggrek pensil, anggrek matahari, seperti anggrek matahari, bakung, nipah, pulai, ambacang rawa, terentang, plawi, brosong, gelam, pakis dan sikeduduk tercatat mendiami kawasan danau ini. Sementara itu, berbagai fauna yang ditemukan di sini antara lain kera ekor panjang, lutung, burung kutilang, babi hutan, ular phyton, siamang, siput dan berbagai jenis ikan termasuk ikan langka seperti kebakung dan palau.Danau ini juga cocok dijadikan pilihan kawasan rekreasi, selain harga retribusinya yang hanya Rp 1.500,00 per orang, disini juga terdapat beberapa pondok yang menawarkan berbagai jenis makanan diantaranya makanan khas Bengkulu seperti perut punai, lempuk dan juga kue Tat. Untuk menjangkau lokasi danau ini, Anda bisa menempuh perjalanan sejauh 5 km dari pusat kota Bengkulu menggunakan angkutan umum melalui terminal Panorama.
Sumber: http://www.indonesiakaya.com
Benteng Fort Rotterdam, atau yang akrab juga disebut dengan Benteng Ujung Pandang, merupakan peninggalan bersejarah dari Kesultanan Gowa yang pernah berjaya pada abad ke-17. Kesultanan ini sebenarnya memiliki 17 buah benteng yang mengitari Makassar, yang menjadi ibukota kesultanan. Tetapi benteng yang paling megah di antara benteng-benteng lainnya adalah Benteng Fort Rotterdam. Hingga saat ini, keaslian benteng masih terpelihara.Lokasi benteng mudah dijangkau karena terletak di dalam kota Makassar, tepatnya berada di depan pelabuhan laut kota Makassar. Jaraknya sekitar dua kilometer dari Pantai Losari. Dengan gaya arsitektur era 1600-an, benteng ini terlihat mencolok dari bangunan Di sekitarnya sehingga mudah dikenali. Temboknya memiliki ketebalan hampir dua meter, berwarna hitam, dan terlihat kokoh menjulang setinggi hampir lima meter. Pintu utama benteng berukuran kecil. Jika dilihat dari ketinggian, bentuk benteng menyerupai penyu yang sedang menuju pantai.Benteng ini dibangun pada tahun 1545, oleh Raja Gowa X, yaitu Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung atau Karaeng Tunipalanga Ulaweng. Seperti halnya arsitektur benteng yang bergaya Portugis, benteng ini berbentuk segi empat, dan berbahan dasar campuran batu dan tanah liat yang dibakar hingga kering. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV, tembok benteng kemudian diganti menjadi batu padas berwarna hitam.Pada masa penjajahan Belanda, sebagian benteng ini pernah porak-poranda akibat pecahnya perang antara armada perang VOC yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Admiral Cornelis Janszoon Speelman dengan Kesultanan Gowa sejak tahun 1666. Penyerangan itu sendiri bertujuan untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah dan sekaligus memperluas daerah kekuasaan Belanda. Setelah menggempur Kesultanan Gowa selama setahun lebih, pasukan perang pimpinan Speelman berhasil menang dan memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.Bagian benteng yang hancur kembali dibangun oleh Gubernur Jenderal Speelman tapi disesuaikan dengan gaya arsitektur Belanda. Benteng yang tadinya berbentuk persegi empat dan memiliki empat bastion, ditambah lagi dengan satu bastion di sebelah barat. Bastion adalah bangunan kokoh yang ditempatkan lebih tinggi di setiap sudut benteng dan di atasnya ditempatkan kanon atau meriam. Nama benteng kemudian diubah menjadi Fort Roterdam, sesuai dengan tempat kelahiran Speelman. Dan saat itu, Benteng Fort Rotterdam difungsikan sebagai pusat perdagangan dan gudang hasil bumi serta rempah-rempah, sekaligus menjadi pusat pemerintahan Belanda di wilayah Timur Nusantara.Tidak perlu membayangkan suasana seram dan angker saat akan mengunjungi benteng tua ini karena tempat bersejarah ini bukanlah tempat yang kosong melompong. Benteng ini digunakan pemerintah setempat sebagai Pusat Kebudayaan Makassar dan difungsikan sebagai perkantoran sehingga membuat lingkungan benteng menjadi bersih, rapi, dan terawat. Selain dapat melihat-lihat benteng secara gratis, pengunjung juga bisa mendatangi Museum La Galigo dan juga melihat ruangan sempit tempat Pangeran Diponegoro ditahan setelah ditangkap Belanda di Jawa.
Sumber: http://www.indonesiakaya.com
Salah satu candi peninggalan bersejarah agama Hindu dari abad ke-17 terdapat di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Namanya Candi Cangkuang, yang di dalamnya terdapat patung Siwa Hindu. Candi ini berdiri di sebuah pulau kecil yang berada di tengah-tengah Situ Cangkuang. Wisatawan yang akan mengunjungi candi harus menyewa rakit yang tersedia di pinggir situ. Harga sewanya Rp. 4.000,- untuk orang dewasa, dan Rp. 2.000,- untuk anak-anak.
Nama Cangkuang berasal dari nama pohon Cangkuang (Pandanus Furcatus) yang memang banyak tumbuh di sekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad, tokoh penyebaran agama Islam di daerah ini. Arif Muhammad adalah seorang tentara Kerajaan Mataram yang pada abad ke-17 datang bersama rombongannya ke daerah ini untuk menyerang Belanda.
Penyerangan itu gagal, namun Arif Muhammad tetap berada di tempat ini untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar, tepatnya di Kampung Pulo yang kini menjadi tempat tinggal keturunannya. Jadi, Situ dan Candi Cangkuang menjadi salah satu bagian dari sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia. Konon, menurut cerita masyarakat setempat, Arif Muhammad dan teman-temannya jugalah yang membendung daerah ini hingga menjadi sebuah situ atau danau.
Candi Cangkuang dibangun pada abad ke-8, yang kemudian ditemukan lagi pada tanggal 12 Desember 1966. Setelah ditemukan, candi ini kemudian digali dan diteliti pada tahun 1967 – 1968, dan dipugar pada tahun 1974 – 1976. Obyek wisata ini berada sekitar 16 kilometer ke arah utara Jota Garut atau 48 kilometer dari Bandung.
Sumber: http://www.indonesiakaya.com
Berwisata ke kepulauan tentu sudah biasa di negara kita yang terdiri dari 17.000 pulau. Tapi kepulauan yang seluruhnya adalah atol, cuma ada satu di Indonesia. Kepulauan ini mempunyai kawasan terumbu karang atol terbesar ketiga di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa lho! Namanya Taka Bonerate, yang dalam bahasa Bugis mempunyai arti “hamparan karang di atas pasir”. Taka Bonerate terletak di Laut Flores bagian utara, sebelah tenggara Pulau Selayar, Sulawesi Selatan.
Berkeliling kawasan Taka Bonerate terdiri dari gugusan pulau-pulau gosong karang dan rataan terumbu yang luas dan tenggelam, serta 21 buah pulau kecil yang terbentuk dari endapan pasir dan pecahan terumbu karang. Luas total area dari atol di Taka Bonerate ini mencapai 220.000 Ha. Hanya tujuh pulau di Taka Bonerate yang berpenghuni, yaitu Rajuni Besar, Rajuni Kecil, Tarupa Besar, Latondu Besar, Jinato, Pasitallu Tengah, dan Pasitallu Timur. Penduduknya terdiri dari dua etnis utama, yaitu Bajo dan Bugis. Karena keragaman biota bawah lautnya yang harus dilindungi, kawasan Taka Bonerate ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Di Taka Bonerate, banyak hamparan pasir timbul yang biasanya dikenal sebagai ‘gusung’, namun disebut sebagai ‘bungin’ di sana. Bungin ini akan muncul apabila air sedang surut, dan tenggelam saat air pasang. Karakteristik pulau-pulaunya sama, yaitu berpasir putih. Tidak semua pulau bisa disinggahi, karena ada beberapa pulau yang termasuk dalam zona inti, yaitu zona yang kondisinya masih asli dan belum terganggu manusia, sehingga perlu dilindungi dan dihindarkan dari berbagai macam akivitas.
Potensi terumbu karang yang cukup luas menjadikan Taka Bonerate sebagai surga penyelam. Kawasan ini mempunyai puluhan dive spot yang tersebar di seluruh kawasan. Beberapa dive spot andalan yaitu di perairan Tinabo Kecil, Pulau Tinanja, serta wall reef di Latondu dan Jinato. Petugas Taman Nasional rutin mengadakan reef check serta observasi spot-spot diving baru. Salah satu spot yang unik adalah “sumur ikan” di Taka Lamungan, berupa lubang di dalam laut dengan ratusan ikan berenang keluar masuk di dalamnya.Tidak hanya snorkeling atau diving, karena di Taka Bonerate kita juga bisa berpartisipasi dalam melestarikan lingkungannya. Ada beberapa program, seperti penanaman pohon di Pulau Tinabo, transplantasi terumbu karang, serta ikut serta dalam pelepasan penyu ke laut. Kita akan diminta memberikan donasi dalam jumlah tertentu jika ingin mengikuti program-program tersebut. Donasinya tentu saja akan digunakan demi kelestarian alam Taka Bonerate.
Pulau Tinabo
Letak Pulau Tinabo cukup strategis, yaitu di tengah kawasan Taka Bonerate. Pulaunya kecil, dan dikelilingi oleh pantai berpasir putih serta air laut yang jernih. Karena itulah Pulau Tinabo menjadi pusat wisata di kawasan Taka Bonerate, dan satu-satunya pulau yang memiliki fasilitas resort serta dive centre. Dermaga dan resort di Tinabo menghadap ke arah barat, sehingga pengunjung disuguhi oleh pemandangan sunset yang cantik setiap harinya. Mau lihat sunrise? Tinggal jalan saja 5 menit ke bagian belakang pulau yang menghadap ke arah timur.
Tinggal di Tinabo yang definitely in the middle of nowhere dan tidak berpenghuni, bakal bikin kamu serasa punya pulau pribadi. Butuh waktu kurang dari satu jam untuk mengelilingi pulau ini. Pulau tetangga yang berpenghuni jaraknya sekitar 45 menit dengan kapal motor. Karena enggak ada polusi dan minim cahaya, kalau malam hari bintang-bintang dan milky way kelihatan sangat jelas. Stargazing is a must!
Bagi penikmat pemandangan bawah laut, kita bisa melakukan beach entry untuk diving ataupun snorkeling di halaman depan pulau. Di sekeliling Pulau Tinabo ini ada beberapa titik penyelaman, seperti Ibel Orange yang mempunyai gundukan karang membentuk bukit di bawah laut, Softcoral Point yang didominasi oleh soft coral, serta Kampung Nudi yang terkenal sebagai tempat ngumpulnya si imut nudibranch. Selain itu, hanya di Tinabo kita bisa bermain-main dengan puluhan baby shark yang berenang bebas di pinggir pantai depan resort!
Pulau Selayar
Selayar biasa dijadikan tempat transit bagi yang mau berkunjung ke Taka Bonerate. Tapi jangan hanya transit tanpa ke mana-mana, karena Selayar punya pantai-pantai dan dive spot yang ciamik! Coba menyeberang ke Pulau Pasi Gusung di sebelah barat Selayar. Di pulau tersebut ada beberapa dive spot serta pantai pasir putih, seperti Pantai Liang Tarusu, Pantai Liang Kareta, dan Pantai Je’neiya. Bahkan di salah satu dive spot-nya kita bisa menemukan dugong lho!
Pantai Bonetappalang dan Pantai Pinang di sisi timur Selayar malah punya dive spot yang lebih oke dari pantai barat. Tapi jika ingin berkunjung ke pantai timur Selayar harus memperhatikan musim, karena jika sedang angin timur, akses ke sana ditutup. Selain pantai, wisata sejarah di Selayar pun bisa. Seperti ke Jangkar Raksasa, Gong Nekara, atau Perkampungan Tua Bitombang, yaitu perkampungan penduduk asli yang sudah berusia ratusan tahun.
AksesUntuk mencapai Taka Bonerate memang bukan hal yang mudah dan memakan banyak waktu. Pertama, kita harus menuju Pulau Selayar terlebih dahulu. Ada dua cara untuk menuju Selayar, yaitu dengan pesawat atau bus. Rute pesawat ke Selayar bisa dicapai dari Makassar, yaitu dari Bandara Sultan Hasanuddin. Dua maskapai yang melayani rute Makassar – Selayar PP adalah Aviastar dan Wings Air. Perjalanannya memakan waktu sekitar 45 menit. Sedangkan jika menggunakan bus, perjalanan memakan waktu sekitar 10 jam dari Terminal Bus Malengkeri Makassar menuju Kota Benteng, Selayar.
Dari Kota Benteng, kita masih harus melakukan perjalanan darat selama 1.5 jam menuju Pelabuhan Pattumbukang yang terletak di ujung selatan Pulau Selayar. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan kapal kayu yang menempuh sekitar 4 – 5 jam untuk menuju Taka Bonerate, tepatnya ke Pulau Tinabo. Untuk menuju Pelabuhan Pattumbukang serta kawasan Taka Bonerate, kita harus menyewa mobil dan kapal sendiri, karena enggak ada angkutan umum serta kapal reguler untuk menuju ke sana. Mahal memang. Oleh karena itu disarankan bersama rombongan, atau ikut trip gabungan yang diatur oleh agen wisata.
AkomodasiPenginapan di kawasan Taka Bonerate hanya ada di Pulau Tinabo, yaitu Tinabo Island Resort. Jangan bayangkan resort mewah dengan berbagai fasilitas ya, karena penginapannya hanya berupa bungalow kayu dengan 3 kamar dan 1 shared bathroom di dalamnya. Juga tidak ada restoran dan warung dengan berbagai menu. Jadi untuk urusan makan, lebih baik pesan sepaket dengan penginapannya, dan bawa snack yang bisa dibeli sejak di Selayar.Meskipun tidak berfasilitas super lengkap, tapi resort di Tinabo ini cukup nyaman. Harganya juga cukup bersahabat, yaitu Rp. 200 ribu per malam, belum termasuk makan 3 kali. Selain itu, resort ini juga dilengkapi dengan dive centre. Para backpacker yang budgetnya mepet, bisa saja kok numpang tidur di beberapa gazebo kecil atau membangun tenda di sekeliling pulau ini.
Telepon Penting:Balai Taman Nasional Taka BonerateJl. S. Parman no. 40 Benteng, Kab. Kepulauan Selayar – Sulawesi Selatan 92812Telp. / Fax : 0414 – 21565Email : infotntakabonerate@gmail.comWebsite : www.tntakabonerate.com
Tips:
Jadwal pesawat menuju Selayar sering berubah-ubah. Jadi, sering-sering saja cek ulang ke agen maskapai yang bersangkutan. Di Kota Benteng, jangan lupa untuk mengisi formulir dan membayar biaya perizinan masuk kawasan di Kantor Balai Taman Nasional Taka Bonerate. Karcis masuk pengunjung sebesar Rp 5.000/hari. Ditambah karcis untuk kegiatan snorkeling Rp 15.000/hari, serta kegiatan diving Rp 25.000/hari. Musim kunjungan terbaik ke Taka Bonerate adalah bulan April – Juni dan bulan Oktober – Desember. Aktivitas utama di Taka Bonerate adalah snorkeling dan diving. Jika tidak membawa alat sendiri, bisa menyewa di Selayar atau di Pulau Tinabo. Untuk diving, per dive-nya sekitar Rp. 350 ribu sudah termasuk dengan alat. Di Pulau Tinabo ada sinyal hp, tapi enggak ada sinyal internet. So, bye bye social media. Listrik di Tinabo menyala hanya 12 jam dalam sehari, yaitu dari jam 18.00 hingga jam 06.00. Bawa uang tunai dan perbekalan sejak dari Makassar atau Selayar, karena di Taka Bonerate enggak ada mini market apalagi ATM! Profile Berangan Trip: Bring you to awesome destinations in Indonesia Bingung karena gak ada teman jalan? Atau terlalu repot buat ngurusin semuanya sendiri? Budget yang terbatas? Itu bukan masalah kalau kamu pergi bersama kami. Yang jelas, destinasi keinginanmu enggak hanya sekedar menjadi angan-angan. Join trip-nya BERANGAN yuk! Kami bakal membawa kamu ke berbagai tempat di Indonesia. Website: http://berangan.com/ Twitter: @Berangan_Trip Facebook: Berangan TripAnda tak akan menyangka jika di pedalaman Flores, tepatnya di kabupaten Manggarai akan menemukan sebuah “kampung internasional”, yang mana Anda akan menyaksikan orang dari berbagai negara bertemu dalam satu lokasi yang sama, tidur, dan makan dalam satu atap Mbaru Niang, demikianlah nama untuk rumah kerucut Wae Rebo. Semenjak mendapatkan anugerah Award of Excellence dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB atau UNESCO untuk kawasan Asia Pasifik. Kampung Adat Wae Rebo setidaknya telah dikunjungi tiga ribu lima ratus pengunjung yang menjadi angka penutup di penghujung tahun 2014.
Katarine misalnya, seorang turis asal Firlandia, meninggalkan moment Natal bersama keluarga untuk traveling ke Flores untuk mengunjungi Kampung yang namanya mulai tersehor di daratan Eropa sejak penetapan UNESCO. Begitu juga dengan para pengunjung dari berbagai Negara, mereka menganggap Wae Rebo seperti magnet yang baru muncul yang energinya mulai menarik para pengunjung di seluruh dunia.
Kampung adat Wae Rebo yang terletak di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Wae Rebo mempunyai makna "mata air". Wae Rebo secara fisik terdiri atas tujuh rumah adat yang disebut Mbaru Niang, berbentuk kerucut yang mempunyai diameter 12-15 meter, dengan ketinggian 8-10 meter. Bagian atap yang menjuntai hingga menutupi sebagian besar bangunan ini dibuat dari rumput khusus dengan dilapisi ijuk agar lebih kuat jika diterjang angin dan air hujan. Kampung ini juga dibangun di atas Pegunungan Pocoroko dengan ketinggian 1100 mdpl yang menghadap langsung ke Samudera Hindia.
Selain unik dari sisi arsitek dan pemilihan lokasinya, pola susun rumah adat Wae Rebo juga unik, karena polanya melingkar dan tepat di tengah-tengahnya terdapat batuan yang disusun membentuk persegi. Pada bagian persegi itu terdapat semacam altar yang terbuat dari bambu untuk meletakan sesembahan para leluhur. Susunan batuan itu disebut sebagai Compang untuk upacara adat.
Bentuk rumah adat ini selalu dikaitkan dengan bentuk sarang laba-laba yang juga terjadi dalam pola pembagian sawah yang ditanami padi oleh Suku Manggarai. Pola pembagian sawah ini juga menyerupai sarang laba-laba yang mengerucut dibagian tengah, dengan alur pembagian seperti petak-petak yang dibuat oleh laba-laba untuk menjerat mangsanya. Anda dapat menemukan sawah yang berbentuk sarang laba-laba ini di Lembor dan Cancar, saat perjalanan menuju Kota Ruteng.
Masyarakat Wae Rebo percaya bahwa nenek moyang mereka yang bernama Maro berasal dari Minangkabau, yang kemudian belayar menuju ke selatan dan akhirnya menemukan Pulau Flores. Setelah itu mereka mencari lokasi, pertama kali Mereka pindah ke Liho Dari Liho, kemudian pindah ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu, setelah itu pindah ke pegunungan Poncoroko. Kedekatan budaya mereka dengan Suku Minang dapat dilihat dari bentuk rumah dan tradisi pernikahan mereka yang hampir sama.
Jika Anda mengunjungi kampung adat Wae Rebo, banyak hal yang akan Anda dapatkan, di antaranya adalah nikmatnya kopi yang dibuat secara tradisional oleh penduduk setempat, selain itu juga perpaduan antara rumah adat dan hijaunya hutan bagaikan permadani menyelimuti kokohnya gunung-gunung yang mengelilingi kampung Wae Rebo. Perpaduan ini menjadi sebuah kolaborasi apik yang akan memanjakan mata Anda di sana.
BAGAIMANA KE SANA?
Wae Rebo dapat di tempuh dengan start perjalanan udara dari Bandara Ngurah Rai Denpasar menuju Bandara Labuan Bajo, yang terdapat di Kabupaten Manggarai Barat. Selanjutnya Anda harus menempuh perjalanan darat selama 4 jam menuju Kota Ruteng, sebuah kota kecil di Kabupaten Manggarai Tengah. Selama perjalanan Anda dapat menikmati sawah yang berbentuk sarang laba-laba di Lembor atau Cancar. setelah itu perjalanan dapat dilanjutkan menuju Desa Denge yang merupakan desa terakhir sebelum trakking selama empat jam menuju Wae Rebo.
Profile Campa Tour:
Create awareness of history by traveling all around the world. Discover the hidden treasures and enjoy cross-century experience. We aim to take our customer into unforgettable journey when they are taken out of their comfort zones, discover new stories, reveal the truth about ancient history, experience land before times and traditional culture, and find their true selves.
Website: http://www.campatour.com/
Twitter: @CampaTour
Kawasan Kota Tua di utara Jakarta masih cukup sepi ketika TripTrus menjumpai Maryssa Tunjung Sari, fotografer handal dan traveler profesional, di sebuah warung, pada pagi hari, Rabu 7 Oktober 2014. Fotografer yang akrab disapa Sasha ini rupanya sangat bersemangat membagi pengalaman dan pemahamannya soal fotografi kepada teman-teman Trip Operator (TO). Ya, inilah waktunya pelatihan fotografi singkat buat para Trip Operator.
“Untuk berpromosi tentang perjalanan dalam usaha travel tentunya akan lebih baik dan menarik kalau fotonya mendukung, jadi belajar dasar fotografi pastinya akan berguna untuk teman-teman TO,” ujar Chief Editor majalah Linkers milik maskapai penerbangan Citilink ini.
Sasha pun dengan sigap menjelajahi sudut-sudut Kota Tua dan dalam waktu singkat merekam banyak momen indah dalam kamera ponselnya. Foto-foto itulah yang akan dijadikan Sasha sebagai contoh dan modal berbagi ilmunya.
Kami berkumpul di Historia Food & Bar. Ada Pipit dan Kelik dari Long Foot Trip, Adly dari Raja Wisata, Vindhya dari Ibu Penyu, Mumun dari Indohoy.com, Andre dari Trip Gabungan, Oki dan saya, Indi dari TripTrus. Tidak banyak, memang, tetapi justru menggembirakan buat Mumun dan Vindhya. “Asyiik bisa privat, jadi cepet pinter, nih,” kata Mumun, antusias.
Sasha membuka obrolan tentang fotografi dengan pertanyaan, “Kita motret niatnya untuk apa? Untuk bikin brosur, tas, poster, syal, buku notes atau pajang di sosmed?” Niat ini, menurut Sasha, akan mempengaruhi pendekatan kita terhadap obyek foto dan hasilnya juga akan berbeda sesuai niat.
Sebagai traveler, Sasha merasakan kebanyakan wisawatan suka memotret lanskap, mengabadikan pemandangan dengan sudut pandang luas. Padahal, kata Sasha, dalam foto yang kita buat mestinya ada pendekatan personal terhadap obyek yang justru bisa melahirkan cerita melalui gambar dan menarasikan foto. “Cara ini akan memicu rasa penasaran orang yang melihat foto kita dan hingga akan menarik orang untuk berkunjung ke lokasi di mana kita memotret obyek tersebut,” papar Sasha.
Karena itu, lanjut Sasha, kita harus memiliki pemahaman dasar tentang komposisi, sudut pengambilan, bukaan cahaya, ISO dan kecepatan. Ini diperlukan agar foto yang dihasilkan mempunyai aspek dinamis, bercerita dan penataan teknik yang tepat. Memotret pakai kamera apapun bisa menghasilkan foto yang luar biasa asalkan pemotret paham dengan cara bercerita melalui sudut pengambilan dan penguasaan teknik.
Sasha tak banyak berteori. Satu jam berikutnya, peserta pelatihan fotografi diminta memotret sesuai “pendekatan”nya masing-masing tentang apa yang bisa membuat orang tertarik datang ke kawasan Kota Tua Jakarta. Sesudah itu, secara singkat Sasha memberikan penilaiannya tentang hasil jepretan para TO. Tidak lama ia memberi ulasan, karena Sasha harus mengejar pesawat ke Makassar untuk bertugas.
“Ternyata, belajar fotografi itu asyik lho,” kata Kelik. Maka kita bersiap untuk pelatihan berikutnya. Semoga lebih banyak yang tertarik.