TripTrus.Com - Ditengah hingar-bingar DKI Jakarta, masih banyak berdiri bangunan-bangunan bersejarah, salah satunya adalah Masjid. Berikut ini beberapa Masjid tua dan bersejarah yang masih kokoh berdiri di tengah angkuhnya ibu kota :
1. Masjid Jami' Al-Anwar, Angke
Sejarah pendirian masjid ini berkaitan erat dengan peristiwa di zaman Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741), beberapa kali terjadi ketegangan antara VOC dengan rakyat dan orang Tionghoa. Ketegangan memuncak pada tahun 1740 ketika orang-orang Tionghoa bersenjata menyusup dan menyerang Batavia. Karena kejadian ini, sang jenderal sangat marah dan memerintahkan pembunuhan massal terhadap orang-orang Tionghoa. Peristiwa ini diketahui Pemerintah Belanda, sang jenderal dimintai pertanggungjawaban dan dianggap sebagai gubernur jenderal tercela. Akibatnya, ia kemudian dipenjarakan Pemerintah Belanda pada tahun 1741. Dan tak lama kemudian sang jenderal pun akhirnya mati di penjara.
Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Tionghoa yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam dari Banten, dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon.
Berdasarkan sumber Oud Batavia karya Dr F Dehan, masjid didirikan pada hari Kamis, tanggal 26 Sya’ban 1174 H yang bertepatan dengan tanggal 2 April 1761 M oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim dari Tartar bernama Ny. Tan Nio yang bersuamikan orang Banten, dan masih ada hubungannya dengan Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah. Arsitek pembangunan masjid ini adalah Syaikh Liong Tan, dengan dukungan dana dari Ny. Tan Nio. Makam Syaikh Liong Tan, arsitek Masjid Jami Angke, yang berada di bagian belakang Masjid Jami Angke.
Menurut sejarawan Heuken dalam bukunya Historical Sights of Jakarta, kampung di sekitar Masjid Angke dulu disebut Kampung Goesti yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu. Kampung tersebut didirikan tahun 1709. Banyak orang Bali tinggal di Batavia, sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan tombak, dan kelompok lain lagi datang dengan sukarela untuk bercocok padi. Selama puluhan tahun orang-orang Bali menjadi kelompok terbesar kedua dari antara penduduk Batavia (A Heuken SJ, 1997:166).
Selain orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis Tionghoa. Mereka pernah tinggal bersama di sini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan Tionghoa oleh Belanda. Bahkan jika kita berkunjung ke tempat tersebut saat ini, akan kita lihat masih banyak warga etnis Tionghoa yang tinggal di perkampungan tersebut.
2. Masjid Jami Tambora, Tambora
Masjid Jami Tambora dibangun pada tahun 1181 H (1761 M) oleh Kiai Haji Moestoyib, Ki Daeng, dan kawan-kawan. Mereka berasal dari Makasar dan lama tinggal di Sumbawa tepatnya di kaki Gunung Tambora. Pada tahun 1176 H (1756 M) KH. Moestodijb dan Ki Daeng dikirim ke Batavia oleh Kompeni karena menentang dan dihukum kerja paksa selama lima tahun.
Setelah hukuman selesai mereka tidak kembali ke Sumbawa, tetapi menetap di Kampung Angke Duri (sekarang Tambora) dan berkenalan dengan ulama setempat. Kemudian mereka menemukan ide untuk membangun sebuah masjid sebagai tanda syukur. Lokasinya sengaja dibuat di tepi Kali Krukut karena saat itu air kali masih jernih sehingga bisa dipakai untuk berwudlu.
Sumber lain menyebutkan, konon Masjid Tambora ini dibangun oleh H. Moestoyib, bersama seorang kontraktor Tionghoa Muslim yang berasal dari Makasar pada tahun 1761, kedua Muballigh itu ditahan oleh penguasa Belanda selama kurang lebih 5 Tahun dengan tuduhan makar, tetapi tuduhan itu tidak terbukti dan mereka pun dibebaskan, lalu penguasa Belanda memberikan sebidang tanah di luar tembok Batavia yang kemudian dibangun Masjid Tambora.
Sejak masjid selesai dibangun, peribadatan dimasjid ini dipimpin oleh K.H. Moestoyib sampai wafat. Haji Mustoyib dikuburkan di halaman depan masjid ini demikian pula dengan Ki Daeng. Guna kelanjutan kegiatan masjid setelah mereka wafat maka pada tahun 1256 H (1836 M) pimpinan masjid dialihkan kepada Imam Saiddin sampai wafat. Setelah itu masjid telah mengalami beberapa kali pergantian pimpinan. Terakhir pada tahun 1370 H (1950 M) pimpinan dipegang oleh Mad Supi dan kawan-kawannya dari gang Tambora. Masjid ini diperluas dan dipugar menyeluruh pada tahun 1980.
3. Masjid Jami Almubarak, Krukut
Masjid Jami Almubarak atau Masjid Krukut adalah salah satu masjid tua di Jakarta, dibangun sesudah tahun 1785 di atas sebidang tanah luasnya 1.000 m2 yang disebut Cobong Baru. Dibangun oleh kaum peranakan Tionghoa di Batavia, setelah memperoleh izin dari Gubemur Jenderal Alting. Izin tersebut diberikan kepada kapitan Cina peranakan (Muslim) yang bernama Tamien Dosol Seeng. Pada abad ke-19 dan abad ke20 masjid ini mengalami perubahan besar. Sebuah mimbar kayu pantas dianggap karya besar seni ukir Tionghoa. Sayang sekali, bentuk ukiran mimbar itu tak tajam lagi akibat dilapisi cat perak tebal pada tahun 1975 dan kini mimbar tersebut raib tak jelas keberada’annya.
Perombakan dan pembangunan total masjid ini dilakukan tahun 1994 14 Januari 1994, diperluas oleh tanah wakaf yang diberikan Syech Abdul Khaliq A Bakhsh dan dilaksanakan oleh Abdul Malik Muhammad Aliun sebagai wakaf untuk umat Islam. Di kawasan Krukut kini sudah hampir tak ada lagi muslim Tionghoa yang bermukim disana dan justru lebih banyak di dominasi muslim keturunan arab.
[Baca juga : "5 Fakta Sejarah Tentang Pulau Penyengat"]
4. Masjid Jami’ Kebon Jeruk, Kebon Jeruk
Menurut data dari Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi Jakarta, Masjid Jami’ Kebon Jeruk, Kebon Jeruk didirikan oleh seorang Muslim Tionghoa bernama, Chau Tsien Hwu atau Tschoa atau Kapten Tamien Dosol Seeng di tahun 1786. Beliau adalah salah seorang pendatang dari Sin Kiang, Tiongkok yang kabur dari negerinya karena ditindas oleh pemerintah setempat.
Sesampai di Batavia, ia menemukan sebuah surau yang tiangnya telah rusak serta tidak terpelihara lagi. Kemudian di tempat tersebut, ia dan teman-temannya, sesama pendatang dari Tiongkok mendirikan mesjid dan diberi nama Masjid Kebon Jeruk. Alasan diberinya nama Masjid Kebon Jeruk, menurut petugas Istiqbal (humas-red) Masjid Kebon Jeruk, Abdul Salam, karena memang pada waktu itu di daerah ini ditumbuhi banyak pohon jeruk.
Jauh sebelumnya, tahun 1448 Masehi, di lokasi ini telah berdiri sebuah mesjid surau atau langgar. Bangunannya bundar, beratap daun nipah, bertiang empat, masing-masing penuh dengan ukiran. Siapa saja pendirinya tidak diketahui. Chan tsin Hwa beserta istrinya Fatima hwu tiba di Batavia pada tahun 1718, dan menetap di daerah Kebon Jeruk sekarang ini. Mereka ini adalah rombongan muhajirin (pengungsi) yang memeluk agama Islam, yang terpaksa meninggalkan negrinya karena terdesak oleh penguasa Dinasti Chien yang menganut agama leluhur mereka, Budha.
Selain nilai historisnya, masjid ini menjadi terkenal karena Masjid Kebon Jeruk sebagai pusat kegiatan tabligh dan dakwah Islam di Indonesia. Masjid Jami’ Kebon Jeruk ini menjadi markas kegiatan Jemaah Tabligh untuk wilayah Indonesia dengan kegiatan jamaahnya adalah melakukan penyebaran Islam dengan mengunjungi berbagai tempat di seluruh nusantara dan berbagai negara.
5. Masjid Az-Zawiyah, Pekojan
Masjid Az-Zawiyah merupakan salah satu masjid tua Jakarta yang berada di kawasan Pekojan. Masjid ini pertama kali dibangun oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alatas pada tahun 1812M, Beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Tarim, Hadramaut, Yaman. Dan juga dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan kitab “Fathul Mu’in” atau kitab kuning yang hingga saat ini masih dijadikan sebagai rujukan di kalangan pesantren tradisional.
Habib Ahmad bin Hamzah Alatas juga merupakan guru dari Habib Abdullah bin Muhsin Alatas, seorang ulama besar yang kemudian berdakwah di daerah Bogor. Ketika dibangun, masjid ini tidak saja merupakan sebuah bangunan untuk ibadah semata namun juga merupakan tempat penyelenggaraan pendidikan islam. Kini bangunan masjid ini dikelola oleh Yayasan Wakaf Al-Habib Ahmad Bin Hamzah Alatas.
Masjid Azzawiyah berada tidak jauh dari jalan Pekojan Kecil, awalnya hanya berupa mushola kecil, Mushola ini kemudian diwakafkan hingga sekarang dan kemudian menjadi sebuah masjid. Kawasan Pekojan juga dikenal sebagai Kampung arab meskipun pada awalnya dihuni oleh Muslim dari India. Saat ini di Pekojan terdapat 4 Masjid Jami’ dan 26 mushola beberapa diantaranya sudah eksis sejak era kolonial.
Masjid kecil ini begitu ramai dikunjungi oleh muslim keturunan arab terutama di hari Lebaran hingga hari ketiga. Tepat di depan Mushola ini berdiri rumah tua bergaya Moor, rumah tersebut sekarang ditempati keluarga Saleh Aljufri. Keluarga Saleh Al-Jufri ini adalah salah satu keturunan Arab yang masih tinggal di kawasan Pekojan. (Sumber: Artikel situsbudaya.id Foto bujangmasjid.blogspot.com)